Cari Blog Ini

Halaman

Rabu, 16 September 2009

KASIH SEORANG IBU.

Hendrat Aritonang Ops 15 September jam 0:25 Reply
8 kebohongan seorang ibu

Dalam kehidupan kita sehari-hari, kita percaya bahwa kebohongan akan membuat manusia terpuruk dalam penderitaan yang mendalam, tetapi kisah ini justru sebaliknya. Dengan adanya kebohongan ini, makna sesungguhnya dari kebohongan ini justru dapat membuka mata kita dan terbebas dari penderitaan, ibarat sebuah energi yang mampu mendorong mekarnya sekuntum bunga yang paling indah di dunia.

Cerita bermula ketika aku masih kecil, aku terlahir sebagai seorang anak laki-laki di sebuah keluarga yang miskin. Bahkan untuk makan saja, seringkali kekurangan. Ketika makan, ibu sering memberikan porsi nasinya untukku. Sambil memindahkan nasi ke mangkukku, ibu berkata :
“Makanlah nak, aku tidak lapar” ———-KEBOHONGAN IBU YANG PERTAMA

Ketika saya mulai tumbuh dewasa, ibu yang gigih sering meluangkan waktu senggangnya untuk pergi memancing di kolam dekiat rumah, ibu berharap dari ikan hasil pancingan, ia bisa memberikan sedikit makanan bergizi untuk petumbuhan. Sepulang memancing, ibu memasak sup ikan yang segar dan mengundang selera. Sewaktu aku memakan sup ikan itu, ibu duduk disamping gw dan memakan sisa daging ikan yang masih menempel di tulang yang merupakan bekas sisa tulang ikan yang aku makan. Aku melihat ibu seperti itu, hati juga tersentuh, lalu menggunakan sumpitku dan memberikannya kepada ibuku. Tetapi ibu dengan cepat menolaknya, ia berkata :
“Makanlah nak, aku tidak suka makan ikan” ———- KEBOHONGAN IBU YANG KEDUA

Sekarang aku sudah masuk SMP, demi membiayai sekolah abang dan kakakku, ibu pergi ke koperasi untuk membawa sejumlah kotak korek api untuk ditempel, dan hasil tempelannya itu
membuahkan sedikit uang untuk menutupi kebutuhan hidup. Di kala musim dingin tiba, aku bangun dari tempat tidurku, melihat ibu masih bertumpu pada lilin kecil dan dengan gigihnya melanjutkan pekerjaannya menempel kotak korek api. Aku berkata :”Ibu, tidurlah, udah malam, besok pagi ibu masih harus kerja.” Ibu tersenyum dan berkata :
“Cepatlah tidur nak, aku tidak capek” ———- KEBOHONGAN IBU YANG KETIGA

Ketika ujian tiba, ibu meminta cuti kerja supaya dapat menemaniku pergi ujian. Ketika hari sudah siang, terik matahari mulai ibu yang tegar dan gigih menunggu aku di bawah terik matahari selama beberapa jam. Ketika bunyi lonceng berbunyi, menandakan ujian sudah
selesai. Ibu dengan segera menyambutku dan menuangkan susu yang sudah disiapkan dalam botol yang dingin untukku. susu yang begitu kental tidak dapat dibandingkan dengan kasih sayang yang jauh lebih kental. Melihat ibu yang dibanjiri peluh, aku segera memberikan gelasku untuk ibu sambil menyuruhnya minum. Ibu berkata :
“Minumlah nak, aku tidak haus!” ———- KEBOHONGAN IBU YANG KEEMPAT

Setelah kepergian ayah karena sakit, ibu yang malang harus merangkap sebagai ayah dan ibu. Dengan berpegang pada pekerjaan dia yang dulu, dia harus membiayai kebutuhan hidup sendiri.
Kehidupan keluarga kita pun semakin susah dan susah. Tiada hari tanpa penderitaan. Melihat
kondisi keluarga yang semakin parah, ada paman yang baik hati yang tinggal di dekat rumahku pun membantu ibuku baik masalah besar maupun masalah kecil. Tetangga yang ada di
sebelah rumah melihat kehidupan kita yang begitu sengsara, seringkali menasehati ibuku untuk
menikah lagi. Tetapi ibu yang memang keras kepala tidak mengindahkan nasehat mereka, ibu berkata :
“Saya tidak butuh cinta” ———-KEBOHONGAN IBU YANG KELIMA

Setelah aku, kakakku dan abangku semuanya sudah tamat dari sekolah dan bekerja, ibu yang sudah tua sudah waktunya pensiun. Tetapi ibu tidak mau, ia rela untuk pergi ke pasar setiap pagi untuk jualan sedikit sayur untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kakakku dan abangku yang bekerja di luar kota sering mengirimkan sedikit uang untuk membantu memenuhi kebutuhan ibu, tetapi ibu bersikukuh tidak mau menerima uang tersebut. Malahan mengirim balik uang tersebut. Ibu berkata :
“Saya punya duit” ———-KEBOHONGAN IBU YANG KEENAM

Setelah lulus dari S1, aku pun melanjutkan studi ke S2 dan kemudian memperoleh gelar master di sebuah universitas ternama di Amerika berkat sebuah beasiswa di sebuah perusahaan. Akhirnya aku pun bekerja di perusahaan itu. Dengan gaji yang lumayan tinggi, aku bermaksud
membawa ibuku untuk menikmati hidup di Amerika. Tetapi ibu yang baik hati, bermaksud tidak mau merepotkan anaknya, ia berkata kepadaku
“Aku tidak terbiasa” ———-KEBOHONGAN IBU YANG KETUJUH

Setelah memasuki usianya yang tua, ibu terkena penyakit kanker lambung, harus dirawat di rumah sakit, aku yang berada jauh di seberang samudra atlantik langsung segera pulang untuk menjenguk ibunda tercinta. Aku melihat ibu yang terbaring lemah di ranjangnya setelah menjalani operasi. Ibu yang keliatan sangat tua, menatap aku dengan penuh kerinduan. Walaupun senyum yang tersebar di wajahnya terkesan agak kaku karena sakit yang ditahannya. Terlihat dengan jelas betapa penyakit itu menjamahi tubuh ibuku sehingga ibuku terlihat lemah dan kurus kering. Aku sambil menatap ibuku sambil berlinang air mata. Hatiku perih, sakit sekali melihat ibuku dalam kondisi ini. Tetapi ibu dengan tegarnya berkata :
“Jangan menangis anakku,Aku tidak kesakitan” ———-KEBOHONGAN IBU YANG KEDELAPAN.

Setelah mengucapkan kebohongannya yang kedelapan, ibuku tercinta menutup matanya untuk yang terakhir kalinya.

Dari cerita di atas, saya percaya teman-teman sekalian pasti merasa tersentuh dan ingin sekali mengucapkan : ” Terima kasih ibu ! ”

Coba dipikir-pikir teman, sudah berapa lamakah kita tidak menelepon ayah ibu kita? Sudah berapa lamakah kita tidak menghabiskan waktu kita untuk berbincang dengan ayah ibu kita? Di tengah- tengah aktivitas kita yang padat ini, kita selalu mempunyai beribu- alasan untuk
meninggalkan ayah ibu kita yang kesepian. Kita selalu lupa akan dan ibu yang ada di rumah.
Jika dibandingkan dengan pacar kita, kita pasti lebih peduli dengan pacar kita. Buktinya, kita selalu cemas akan kabar pacar kita, cemas apakah dia sudah makan atau belum, cemas
apakah dia bahagia bila di samping kita. Mad

Namun, apakah kita semua pernah mencemaskan kabar dari ortu kita? Cemas apakah ortu kita sudah makan atau belum? Cemas apakah ortu kita sudah bahagia atau belum? Apakah ini benar? Kalau ya, coba kita renungkan kembali lagi..

Di waktu kita masih mempunyai kesempatan untuk membalas budi ortu kita, lakukanlah yang terbaik. Jangan sampai ada kata “MENYESAL” kemudian hari. Very Happy

dikutip dari kmplanrenungan.org

Jumat, 11 September 2009

Tinggi Menuju Angkasa

(Enam hari setelah Libi Musang kembali ke hutan)

“Jadi kamu benar-benar ingin pulang sekarang?”, tanya Libi Musang.

“Ya,” jawab Rufi Rusa sambil memasukkan beberapa kantong snack ke dalam tas ransel berwarna hitam miliknya. “Besok hari ulang tahun Rena, sahabatku. Aku ingin ada di sana pada saat itu. Lagipula, jalan tembus dari hutan ke lembah kan sudah selesai dibangun, jadi apabila aku berlari seharian, pasti besok aku sudah sampai di lembah.”

“Oh, begitu,” ujar Libi pura-pura acuh.

Tiba-tiba Rufi menghentikan aktivitas beres-beresnya dan menatap ke arah Libi. “Ngomong-ngomong, luka di badanmu itu karena apa? Bukannya beberapa hari lalu kamu baik-baik aja?”

“Ini?” jawab Libi sambil mengalihkan pandangannya ke seberang. Ada dua ekor anak tupai dan induknya sedang berjalan beriringan dengan penuh semangat. Dari tawa dan senyum mereka yang lepas sepertinya mereka sedang bersuka cita. Dengan suara yang agak pelan ia melanjutkan kata-katanya. “Bukan apa-apa. Hanya lecet sedikit gara-gara terjatuh waktu main futsal dua hari lalu”

“Hmmm,” Rufi terdiam sejenak dan kemudian menata kembali barang-barang di dalam ranselnya. Ia tidak percaya dengan jawaban Libi karena ia yakin 200% bahwa Libi lah yang mengambil bunga AntiEntupanLebahtus yang ada di dalam hutan semak berduri, memasukkannya ke dalam kotak, dan diam-diam meletakkannya di belakang Rufi pada saat kemarin ia duduk di tepi danau. Namun Rufi menyadari bahwa si musang yang selama ini licik dan hanya mementingkan diri sendiri itu mungkin malu untuk mengakui bahwa ia telah melakukan perbuatan baik.

“Lenganmu bagaimana?” tanya Libi. “Sudah sembuh?”

“Sudah. Nih!” jawab Rufi sambil menyodorkan lengannya yang dibalut perban. “Dokter Surip juga kemarin menyarankan untuk membalutnya dengan perban, agar tidak terkena debu dan mempercepat proses penyembuhannya. Ya udah, aku langsung start action aja. Daripada bengkak terus-terusan.”

Libi melirik sekilas ke arah lengan Rufi dan kembali mengarahkan pandangannya ke seberang jalan.

“Yak, beres sudah,” ujar RUfi sambil mengencangkan tali pengikat ranselnya dan memanggulnya di punggung. “Kalau begitu aku pamit dulu ya.”

“Ya, ya, pergi sana. Hati-hati,” kata Libi, masih dengan gaya yang sok cuek.

“Libi,” panggil Rufi lembut.

“Huh? Apa?” Libi menolehkan kepalanya ke arah Rufi.

“Terima kasih banyak ya,” ujar Rufi sambil tersenyum dan melangkahkan kakinya.

“Terima kasih? Untuk apa?”

Rufi tidak menjawab. Ia hanya melambaikan tangannya ke arah Libi dan terus berjalan, atau lebih tepatnya berlari kecil, ke arah perbatasan hutan.

“Hei!!! Terima kasih untuk apa???” teriak Libi.

Tak lama kemudian Rufi pun hilang dari pandangan Libi.

“Dasar rusa bodoh pembohong…” gumam Libi lirih.


Keesokan harinya, tibalah Rufi di lembah tempat tinggal kelompoknya. Beberapa ekor rusa yang melihat kedatangannya sejenak menghentikan aktivitas mereka untuk menyapa dan menanyakan kabar Rufi. Dengan ramah Rufi membalas sapaan mereka.

“Halo Rufi, bagaimana kabarmu?” tanya kakek Tore.

“Baik, kek. Sebuah perjalanan yang menyenangkan sekaligus memberikan banyak pelajaran bagi hidupku.”

Kakek Tore tersenyum bangga.

Thanks God I’ve never stop dreaming,” ujar kakek Tore sok bule. “Aku tahu bahwa suatu saat kamu akan menjadi orang yang bijaksana, Rufi.”

Rufi hanya tersenyum mendengar perkataan kakek Tore. Tiba-tiba ia sadar bahwa dari tadi ia belum melihat Rena. “Ngomong-ngomong si Rena ada dimana ya, kek? Aku sudah menyiapkan kado untuknya nih.”

“Kalo tidak salah ia tadi bilang akan berjemur di lapangan rumput sebelah timur lembah. Dari dua hari lalu ia menanyakan kamu loh.”

“Oh, ya?” jawab Rufi sambil tersenyum. “Kalau begitu aku segera ke sana, kek.”


Rufi melangkahkan kakinya memasuki lapangan rumput hijau yang hampir seluas lapangan bola itu. Tangan kirinya memegang perban yang membalut lengan kanannya. Meskipun sejak tadi ia terus berusaha untuk ramah dan tersenyum di hadapan rusa-rusa yang lain — terutama kakek Tore — sebenarnya dari semalam bekas gigitan lebah EntupanLebahtus yang ada di lengannya terasa membara. Bahkan ia merasakan panas dalam tubuhnya yang seolah menjalar, dari lengan hingga ke ujung kaki dan rambutnya.

Sejenak ia menghentikan langkahnya dan memandang sekelilingnya. Memori saat ia dan Rena sering bermain di lapangan rumput ini bagaikan terputar kembali di pikirannya. Seperti sebuah film pendek.

Tersenyum Rufi melangkahkan kakinya kembali, ke arah pohon beringin besar yang tumbuh di bagian tengah lapangan rumput tersebut. Ia yakin Rena berada di sana. Menunggunya.

“Lapangan rumput,” RUfi berujar dalam hati, “kamu memang menyimpan banyak kenanganku bersama Rena.”

Sekitar 20 langkah kemudian, pohon beringin besar itu mulai terlihat. Tiba-tiba…

“Tolong, ada pemburu,” teriak Rena sambil berlari kencang ke arah Rufi.

Rufi tersentak dan segera bergegas menyongsong Rena. Matanya menyipit, mencoba mencari tahu dimana lokasi para pemburu yang dimaksud Rena. Ternyata benar, sekitar 100 meter di belakangnya, ada setidaknya 5 orang pemburu berpakaian hijau coklat sedang membidikkan senapannya ke arah Rena.

Sekejab kemudian Rena sudah sampai di tempat Rufi berdiri. Rufi pun membalikkan badannya, bersiap untuk berlari di belakang Rena. “Ayo Rena, lari sekuat tenaga. Begitu keluar dari lapangan rumput ini kita pasti bisa dengan mudah meloloskan diri dari para pemburu jahat tersebut.”

Tanpa menghentikan langkahnya Rena menoleh ke arah Rufi dan mengangguk. “Kamu juga, Rufi.”

Rufi menjejakkan kakinya ke tanah, mengambil ancang-ancang untuk berlari. Tapi tiba-tiba lututnya terasa lemas. Panas membara. Demikian pula jantungnya yang terasa semakin berdebar dan berdetak kencang.

“Sepertinya memang sudah waktunya…” kata Rufi dalam hati. Ia menatap ke arah Rena berlari dan melihat bahwa sahabat yang dicintainya itu sudah hampir sampai di pinggir lapangan. Ia pun kemudian membalikkan badannya, ke arah para pemburu yang kini sudah semakin dekat dengan dirinya.

Rufi menarik nafas panjang. Ia kerahkan seluruh tenaganya yang tersisa untuk menahan sakit di kakinya dan mulai berlari ke arah para pemburu.


Rena hampir menabrak kakek Tore ketika ia berlari melewati tikungan pertama yang ada di dekat lapangan rumput.

“Ada apa Rena? Kenapa kamu berlari seperti itu?”

“Ada pemburu, kek! Mereka mengejarku dan Rufi!”

“Apa?? Kalau begitu, cepat sembunyi di balik gundukan tanah yang ada di dekat semak belukar itu. Mana Rufi?”

“Dia ada di bela…”

Dorrrr!!!!!

Kata-kata Rena terhenti oleh sebuah suara tembakan yang cukup keras terdengar.

Dorrrr!!!!! Dorrrr!!!!!

Rena dan kakek Tore menatap ke arah lapangan rumput. Mereka terdiam. Meski tahu apa yang mungkin telah terjadi pada Rufi, mereka tetap berdiri di sana dan berharap akan ada keajaiban.

Lapangan rumput yang sempat gaduh ketika ledakan tersebut meletus perlahan-lahan mulai tenang kembali. Sunyi. Hanya ada suara rumput yang bergesekan karena tertiup angin.

Dan dari arah suara tembakan tersebut, tampak seekor kupu-kupu berwarna putih biru terbang melayang. Tinggi menuju angkasa.

Kisah ini memang sudah berakhir, tapi masih banyak pertanyaan yang belum terjawab. Benarkah Libi yang diam-diam memberikan bunga AntiEntupanLebahtus kepada Rufi? Jika ya, bagaimana Libi bisa tahu bahwa Rufi menderita penyakit EntupanLebahtus? Siapa sebenarnya para pemburu tersebut? Bagaimana kisah masa lalu Rufi dan Rena? Apa yang kemudian terjadi pada Libi? Seperti apa sebenarnya lebah EntupanLebahtus itu? Siapakah pemenang kontes SEO “Stop Dreaming Start Action“? Halah, yang terakhir gak nyambung, hehehe. Yang jelas, Anda bisa menemukan semua jawabannya (kecuali yang terakhir itu) nanti di e-book eksklusif Kumpulan Dongeng Motivasi Jilid 1 – Petualangan Rufi Rusa, hanya di DongengMotivasi.Com!